Di beberapa situs internet mengenai aliran Wahabi, ternyata aliran wahabi ini telah mengkafirkan beberapa ulama seperti Imam Bukhari, Imam Namawi, Ibnu Hajar, sahabat Rasulullah, bahkan Nabi Adam dan Siti Hawa pun mereka kafirkan.
Kemudian, statemen mereka: siapapun yang menolak wahabi berarti menolak Islam. Mereka mempunyai kitab Fiqih sendiri dan berbeda dengan fiqih dari 4 madzhab.
Memang Allah swt. memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya manakala mendapatkan informasi atau berita yang tidak jelas/diragukan kebenarannya hendaklah melakukan pemeriksaan secara seksama sebelum diambilnya sebagai suatu pemikiran / keyakinan.
Firman Allah swt., “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS. 49 : 6)
Da’wah Salafiyah adalah pelopor gerakan-gerakan ishlah (reformasi) yang muncul menjelang masa-masa kemunduran dan kebekuan pemikiran di dunia islam. Da’wah salafiyah ini menyerukan agar aqidah Islam dikembalikan kepada asalnya yang murni, dan menekankan pada pemurnian arti tauhid dari sirik dengan segala manifestasinya. Sebagian orang ada yang menyebut da’wah ini dengan Wahabi, karena dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab (1115 – 1206 H / 1703 – 1791 M).
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ulama yang sangat tegas dan lantang dalam menyerukan tauhid. Ia seorang ulama yang karismatik dan disegani sehingga mampu menda’wahi para penguasa untuk kemudian bekerja sama menghancurkan berbagai kemusyrikan yang ada di masyarakat, seperti dengan penguasa Uyainah yang bernama Utsman bin Muammar atau dengan Pangeran Muhammad bin Su’ud sebagai pengusa Dir’iyah yang kemudian diteruskan oleh putranya yang bernama Pangeran Abdul Aziz bin Muhammad bin Su’ud hingga Syeikh meninggal dunia.
Di antara prinsip-prinsip Da’wah Salafiyah :
- Pendiri da’wah ini, dalam studi-studinya adalah bermadzhab Hambali.
- Menekankan untuk senantiasa merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah dalam permasalahan aqidah.
- Berpegang teguh dengan Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
- Menyerukan kepada pemurnian arti tauhid.
- Menetapkan tauhid asma dan sifat-sifat Allah tanpa tamtsil (perumpamaan), takyif (pencocokan) dan ta’wail (interpretasi).
- Menentang segala bentuk bid’ah dan khurafat.
- Menentang segala bentuk ungkapan, petualangan tarekat sufistik yang dimasukan kedalam agama yang tak pernah ada sebelumnya.
- Melarang berkata-kata tentang Allah tanpa ilmu, berdasarkan firman Allah : “(Mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang kamu tidak ketahui.” (QS. Al A’raf : 33)
- Segala bentuk yang didiamkan oleh hukum syara’ adalah dimaafkan. Tak ada seorangpun yang berhak mengharamkan, mewajibkan atau memakruhkan berdasarkan firman Allah, “Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu, dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, nisacaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Maidah : 101
(Disarikan dari buku, al Mausu’atul Muyassaroh Fil Adyaan Wal Madzahibil Muaashiroh, WAMY, edisi terjemahan, hal. 227 – 232)
Sebagai da’wah yang memegang teguh prinsip-prinsip aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka Da’wah Salafiyah tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum muslimin kecuali apabila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya, sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya (muslim) : Wahai kafir, maka pengkafiran ini akan kembali kepada salah satu dari keduanya, jika dia benar dalam pengkafirannya (maka tidak mengapa), tapi jika tidak maka ucapan itu akan kembali kepadanya” [HR Al-Bukhari)
Jadi prinsip Da’wah Salafiyah terhadap orang islam secara umum—walau ia melakukan dosa besar sekalipun—adalah tetap menganggap menghargai keislaman mereka apalagi terhadap orang-orang mulia yang anda sebutkan di atas.
Mereka adalah para ulama dan imam besar umat ini yang karya-karyanya justru dijadikan sebagai rujukan dan referensi oleh orang-orang salafi. Imam Bukhori dengan karyanya, “Shohihul Bukhori”. Imam Nawawi dengan karyanya, “Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi”. Ibnu Hajar dengan karya terbesarnya,”Fathul Bari Syarh Shohihil Bukhori”
Orang-orang biasa menuduh “wahabi” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Quranul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Allah semata.
Suatu kali, di depan seorang Syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah. Hadits ini berbunyi:
“Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Penulis sungguh kagum dengan terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jia kebutuhan yang dimintanya –menurut tradisi– di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan, maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu kepada Syaikh tersebut penulis katakan, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan.”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d” (1) dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?!” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil aqidah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi, kecuali sekadar yang penulis dengar dari para Syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.
Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits, dan fiqh.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang Syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, lalu beliau duduk di kursi dantak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang Syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu Syaikh membuka pelajaran-pelajaran dengan ucapan, “Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan…”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam biasa membuka khutbah dan pelajarannnya.
Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Quranun Karim dan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.(2) Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqab (memanggil dengan panggilan- panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu panggil-mamanggil dengan gelar-gelaran yang buruk.” (Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidhah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah Syaikh yang sesungguhnya!”
A. Pengertian wahabi
Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya, yaitu Muhammad. Betapa pun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa’ul Husnaa).
Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Quran sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid’ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para shahabat, keluarga Nabi, (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.
Di Madinah, Ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, serta berdoa (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Al-Quran menegaskan,
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” (Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:
“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaummnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.
1. Penentangan orang-orang batil terhadapnya:
Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad: 5)
Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhana wa Ta’ala menjaganya dan memberinya penolong sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya, mereka mengatakan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima(3), padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam serta tidak bershalawat di atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab – rahimahullah- telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Quran, hadits dan ucapan shahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.
2. Dalam sebuah hadits disebutkan;
“Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasulullah berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali radhiallahu ‘anhuma dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.
3. Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddi (pembaharu) abad dua belas Hijriyah.
Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah”, di atanra mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pember), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikananya masuk Surga.
Wallahu A’lam
Sumber : http://www.eramuslim.com
Buruk Muka Islam Dibelah
HARMONI multi-agama di Sarajevo membikin Stephen Schwartz terkagum-kagum. Suatu sore pada 1999, Schwartz berkunjung ke Sinagoge Ashkenazi di ibu kota Bosnia-Herzegovina itu. Wartawan Forward, koran komunitas Yahudi-Amerika, ini melihat Chazzan David Kamhi memimpin pelayanan Sabat dengan gaya Sinagoge Istanbul. Maklum saja, Bosnia pernah di bawah imperium Turki Usmani.
Tak berselang lama, denting bel gereja terdengar bersahutan, tidak jauh dari sinagoge itu. David Kamhi tetap khusyuk melantunkan nyanyian Sabat Kabbalistik yang terkenal, Leha Dodi, Datanglah Sobatku. Matahari mulai terbenam, giliran seruan azan berkumandang syahdu, susul-menyusul dari menara-menara masjid di Sarajevo. Suaranya juga terdengar di dalam sinagoge.
Kumandang azan magrib itu sekaligus menjadi tanda bersama berakhirnya aktivitas siang di Sarajevo. Baik untuk Islam, Kristen, Yahudi, bahkan ateis. Karena kemajemukan agamanya, Sarajevo mendapat label ”Yerusalem-nya Balkan”. Namun, berbeda dari Yerusalem yang bergolak, Sarajevo, kata Schwartz, memberi model ”perbincangan damai peradaban”.
Schwartz yakin, kerukunan model Balkan bisa menjadi solusi untuk meredam ancaman ”benturan peradaban” pasca-serangan 11 September 2001, yang kini dicemaskan dunia Barat dan Muslim. Schwartz, penulis editorial Voice of America ini, sampai pada keyakinan itu setelah terlibat intensif dalam kegiatan antar-iman selama tiga tahun bekerja di Bosnia dan Kosovo.
Tak cuma solusi konflik, pengalaman Balkan juga menginspirasi tesis lain: tentang akar radikalisme Islam dan cara membendungnya. Niat baik Schwartz menemukan solusi damai itu menjadi kontroversial saat memasuki tesis ini. Ia menilai aksi terorisme Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden tak berakar pada faktor kemiskinan, represi rezim Arab, dominasi ekonomi global Amerika, atau wajah buruk Amerika yang membela Israel. Ia tumbuh, katanya, karena pengaruh aliran puritan bernama Wahabiyah.
”Teori” Schwartz itu muncul dalam bukunya, The Two Faces of Islam: The House of Sa’ud from Tradition to Terror, yang terbit November 2002 di New York. Belakangan, buku setebal 312 halaman itu beredar di Indonesia. Awal bulan lalu, Jaringan Islam Liberal (JIL) Jakarta mendiskusikan buku itu di Utan Kayu, Jakarta. Pembicaranya, Dr. Fuad Jabali, dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, dan Ulil Abshar-Abdalla, Koordinator JIL.
Wahabiyah atau wahabisme adalah salah satu model pemikiran teologi Islam di bawah payung Salafiyah, yakni mereka yang mengidamkan Islam kembali ke model salaf, klasik, seperti di zaman Nabi Muhammad SAW. Model itu dipercaya lebih otentik. Pola keislaman yang berkembang sekarang dinilai banyak tercampur bid’ah dan khurafat.
Berbeda dengan Salafiyah model Ahman bin Hanbal atau Ibnu Taimiyah yang moderat, Salafi yang dikembangkan Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1878) ini lebih radikal. Pendukung Wahabi lantas berkongsi dengan Abdul Azis ibnu Sa’ud mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1924. Wahabi menjadi mazhab resmi Saudi.
Osama bin Laden yang kelahiran Saudi, bagi Schwartz, adalah contoh kongkret sosok teroris hasil produksi Wahabi. Tudingan itu dikuatkan fakta bahwa 15 dari 19 tersangka pelaku pembajak pesawat dalam serangan 11 September adalah warga Saudi. Dus, Wahabi itu dianggap identik dengan terorisme. Dalam buku ini, Schwartz juga menunjukkan dukungan finansial Pemerintah Saudi yang sangat besar bagi ekspansi Wahabi ke penjuru dunia.
Schwartz menyalahkan George W. Bush yang menyebut Irak dan Iran sebagai ”Poros Kejahatan”, bersama Korea Utara. Ia malah menganggap sekutu Amerika, yakni Saudi, yang menjadi ”eksportir sejati ekstremis Islam dan teroris internasional”.
Gaya bahasa buku ini lugas, dan cenderung menyederhanakan soal. Terkesan provokatif. Schwartz pertama kali mendengar kata ”Wahabi” di Balkan, awal 1990-an. Ia melihat sendiri perseteruan antara Muslim lokal Balkan tradisional dan Wahabi yang radikal. Balkan, tuturnya, termasuk korban propaganda Wahabi.
Schwartz panjang lebar membahas wajah kaum Wahabi yang disebutnya fasis, tidak toleran, dan ekstrem. Ia lalu menyebut tampilan Islam keras model ini cuma minoritas di dunia Muslim. Sayang, wajah keras inilah yang menjadi citra Islam dalam masyarakat Barat pasca-peristiwa 11 September.
Buku ini berniat menunjukkan adanya wajah Islam lainnya yang lebih pluralis, toleran, dan bisa koeksistensi dengan kalangan lain yang beragam. Wajah mayoritas. Schwartz menyebutnya ”Islam tradisional”. Paras Islam inilah yang ia jumpai di Balkan. Barat harus belajar dari Balkan. Di sana ada kerja sama multi-iman dan peradaban.
Schwartz mendorong agar Amerika Serikat mengambil prakarsa menggandeng Islam tradisional dalam wacana intelektual dan spiritual global. Lebih dari itu, menurut dia, Amerika harus membujuk Saudi menghentikan bantuan bagi ekspansi global Wahabi. Bagi Schwartz, setiap bantuan Saudi untuk pendirian masjid atau madrasah adalah bagian ekspansi Wahabi dan berarti pelebaran pangkalan teror.
Menempatkan aliran agama sebagi pemicu aksi terorisme dinilai sejumlah kalangan sebagai penyederhanaan soal. Ulil Abshar-Abdalla, meski sangat kritis pada Wahabi, menilai pandangan Schwartz berlebihan. ”Terorisme adalah fakta sosial yang lahir karena multifaktor, meski salah satunya Wahabi,” katanya.
Toh, Ulil tokoh JIL (Jaringan Islam Liberal) tetap memandang Wahabi mesti dikritik karena kecenderungannya yang literal, kaku, dan merasa paling berhak menghakimi pihak lain. Ulil sendiri gagal menyelesaikan studinya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA), lembaga pendidikan milik Saudi di Indonesia yang disebut-sebut sebagai pusat ajaran Wahabi –gara-gara ujiannya dalam mata kuliah akidah dianggap tidak lulus. Meski, ia telah menuntaskan skripsi.
Teman sengkatan Ulil di LIPIA, Anis Matta, yang kini menjadi Sekretaris Jenderal Partai Keadilan, menilai Schwartz tak menengok referensi Wahabi secara baik. Ia menyebut tokoh utama Wahabi, yakni Ibnu Taimiyah, justru paling anti mengafirkan Muslim lain. ”Dari segi metodologi, mengaitkan terorisme dengan akar teologi tidak relevan,” ujar Anis. Pandangan model itu, katanya, mengabaikan faktor sosiologis yang menjadi penyebab utama terorisme.
Secara historis, menurut guru besar sejarah Islam UIN Jakarta, Azyumardi Azra, tidak bisa disangkal bahwa sejarah Wahabi lekat dengan kekerasan. Ibnu Taimiyah tak bisa disamakan dengan Ibnu Abdul Wahab, pendiri Wahabi. Meski keduanya sama-sama penganut Salafi, Ibnu Abdul Wahab lebih radikal (baca: Dari Wahabi ke Padri). Azyumardi menyebutnya ”Salafi radikal”.
Toh, radikalisme Islam kontemporer, tutur Rektor UIN Jakarta itu, lebih disebabkan faktor ketidakadilan politik-ekonomi. Aliran teologi itu cuma menyusup sebagai kerangka justifikasi. Ia pun tak melihat setiap bantuan asal Saudi dimaksudkan sebagai ekspansi Wahabi. Banyak bantuan masuk ke pelbagai lembaga di Indonesia, tapi Wahabi tak juga berkembang pesat.
”Secara sosiologis, Islam di Indonesia tidak compatible dengan Wahabi,” ujar Azyumardi. Satu-satunya penerus Wahabi di Indonesia dalam sejarah Islam Indonesia, tuturnya, adalah Gerakan Padri. Ia mencontohkan banyak doktor Indonesia lulusan Saudi yang tak ganti haluan menjadi Wahabi. Di antaranya Menteri Agama Prof. Said Agil Al-Munawwar, atau Rais Suriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Prof. KH Said Aqil Siradj.
Sejumlah organisasi kemasyarakatan Islam yang biasa menerima bantuan dari Saudi mendukung pendapat Azyumardi. Wartawan Gatra Luqman Hakim Arifin tiga pekan lalu menghubungi Ketua Umum Persis, KH Siddiq Amin, dan Sekretaris Jenderal Al-Irsyad, Masdun Pranoto.
Keduanya mengakui, kedekatan corak pemikiran memudahkan mereka mendapat bantuan dari Saudi. Tapi, Siddiq Amin menyangkal anggapan bahwa bantuan itu dikaitkan dengan praktek ajaran Wahabi. ”Kami tidak pernah mengaku sebagai gerakan Wahabi. Orang luar yang bilang begitu,” katanya. Masdun juga menegaskan, Al-Irsyad berbeda dari Wahabi. ”Al-Irsyad tak melakukan pembongkaran total seperti Wahabi,” kata Masdun.
Angan-angan Schwartz mendamaikan Barat-Islam tampaknya bakal tenggelam oleh kontroversi yang tak perlu akibat tesis yang sembrono.
Kelompok Islam penganut ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) melalui Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) akan memperluas cabangnnya di Indonesia dan difasilitasi langsung oleh Menteri Agama M. Maftuh Bastyuni bersama perwakilan Kerajaan Arab Saudi.
Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa`ud sebagai representasi dari Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia dalam waktu dekat akan membuka cabang baru LIPIA di tiga daerah di Indonesia.
Rektor Universitas Islam Imam Muhammad Ibn Sa`ud Prof Dr Sulaiman bin Abdullah bin Hamud Abalkhail, di Jakarta Rabu (29/1/2009) mengungkapkan rencana perluasan cabang itu, namun belum memastikan ketiga daerah itu karena harus dibicarakan dengan Menteri Agama.
Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni sendiri usai menyaksikan wisuda mahasiswa LIPIA angkatan 27,28 dan 29 di Balai Sudirman Jakarta Kamis (29/1) siang menyatakan tiga daerah itu kemungkinan berada di pulau Jawa, Sulawesi dan Sumatera.
“Memang betul LIPIA akan ada di tiga daerah, yakni Semarang Jawa Tengah, lalu di Indonesia bagian Timur persisnya di Makassar Sulawesi Selatan dan mungkin satu lagi di Padang, Sumatera Barat. Tapi ini masih menunggu waktu sampai kesiapan telah memadai,” jelas Menag.
Menurut Maftuh, dalam waktu dekat, Pemerintah Daerah Sulawesi Selatan akan segera mewujudkan LIPIA bagi masyarakat Sulawesi Selatan. “Insya Allah dalam waktu dekat, Sulawesi Selatan akan dapat merealisasikan rencana berdirinya LIPIA, karena mereka sudah siap,”tandas Menag.
Ia menyambut gembira kehadiran LIPIA di Indonesia apalagi adanya rencana penambahan cabang baru di tiga daerah di Indonesia. “Saya gembira dengan kehadiran LIPIA. Karena memang lemmbaga ini sangat dibutuhkan umat Islam Indonesia dewasa ini,” tandas Menag.
Prof Sulaiman menjelaskan, selama ini LIPIA yang ada di Jakarta telah membina lembaga Al khadimul Haramain di Aceh. Kebrhasilan LIPIA selama ini dalam meningkatkan pengetahuan Islam dan bahasa Arab, menurut dia, tidak lepas dari dukungan Departemen Agama dan Kantor Kedutaan Besar Saudi Arabia di Jakarta.
Direktur LIPIA Dr Abdullah Hadhidh Al-Sulamy mengungkapkan, sekitar 1400 mahasiswa dan mahasiswi belajar di berbagai jurusan yang ada di LIPIA yaitu Jurusan Syariah, Jurusa Persiapan Bahasa Program Intensif, Jurusan Pendidikan Takmili (Pra Universitas).
Sementara itu lebih kurang 8604 alumni LIPIA telah tersebar di berbagai kegiatan dan profesi di Indonesia. “Tersebar menjadi pemimpin, guru, hakim, gubernur, wakil gubernur serta anggota MPR dan DPR,” jelasnya optimis.